masukkan script iklan disini
MEDAN | Strateginews — Isu dugaan gratifikasi, penyalahgunaan wewenang, dan tindak pidana korupsi yang dikaitkan dengan Wakil Bupati Serdang Bedagai belakangan ini ramai beredar di sejumlah platform media sosial dan pemberitaan daring. Informasi tersebut bahkan menyeret data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dipublikasikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menanggapi hal tersebut, Ketua LBH WJMB (Wartawan Jurnalis Medan Bersatu) Michael P. Manurung, S.H. memberikan pandangan hukum guna meluruskan persepsi publik. Ia menilai bahwa penyebaran informasi tanpa dasar dan bukti hukum yang jelas merupakan tindakan yang dapat menyesatkan serta berpotensi menimbulkan fitnah dan pencemaran nama baik.
“Ketika seorang pejabat publik telah melaporkan harta kekayaannya melalui LHKPN, ia telah memenuhi kewajiban hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan peraturan turunannya. LHKPN tersebut diverifikasi dan dipublikasikan oleh KPK sebagai bentuk transparansi. Maka, menuduh adanya gratifikasi tanpa bukti konkret adalah tindakan tidak berdasar,” tegas Michael, Rabu (29/10/2025).
Rujukan Hukum
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menegaskan bahwa unsur gratifikasi harus dapat dibuktikan adanya penerimaan yang berhubungan dengan jabatan serta berlawanan dengan kewajiban atau tugas seseorang.
UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) memastikan bahwa data LHKPN adalah informasi publik resmi yang dapat diakses secara transparan dan bukan bersifat spekulatif.
Data LHKPN Tidak Bisa Dijadikan Dasar Tuduhan Sepihak
Berdasarkan data publik LHKPN:
Harta kekayaan Wakil Bupati Serdang Bedagai tercatat Rp13,1 miliar (2022).
Meningkat menjadi Rp22,1 miliar (2023).
Selisih peningkatan sekitar Rp9 miliar pada satu tahun pelaporan.
Michael menegaskan, kenaikan tersebut tidak serta-merta menandakan praktik korupsi.
“Kenaikan kekayaan dapat terjadi karena banyak faktor, termasuk hasil usaha pribadi, perkembangan nilai aset, atau investasi. Tanpa penyelidikan resmi dan bukti hukum yang kuat, tuduhan gratifikasi hanyalah opini spekulatif yang berpotensi menyesatkan masyarakat,” jelasnya.
Imbauan untuk Media dan Pengguna Media Sosial
Michael mengingatkan bahwa penyebaran informasi yang belum terverifikasi dapat melanggar hukum, termasuk:
Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE terkait pencemaran nama baik.
Pasal 14 dan 15 KUHP terkait penyebaran berita bohong yang menimbulkan kegaduhan.
“Masyarakat dan media hendaknya menjunjung asas praduga tidak bersalah. Jangan sampai opini liar merusak kredibilitas dan stabilitas pemerintahan daerah,” ujarnya.
Menjaga Kondusivitas Bersama
Di akhir pernyataannya, Michael mengajak seluruh pihak fokus pada pembangunan daerah, bukan pada isu provokatif yang belum teruji.
“Mari kita jaga ruang informasi publik tetap sehat. Biarkan lembaga resmi seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian bekerja sesuai kewenangannya. Tidak perlu berspekulasi,” pungkasnya. (Red/Tim WJMB)







Tidak ada komentar:
Posting Komentar